PASURUAN – Unjuk rasa yang terjadi di Kantor Desa Bakalan, Kecamatan Purwosari, Kabupaten Pasuruan, rupanya bukan kaleng-kaleng. Pasalnya, demo yang tujuannya menurunkan Wahid sebagai perangkat desa itu menjadi magnet tersendiri bagi warga Babatan bakalan.
Buktinya, yang hadir saat itu tak ada batasan usia. Selain para pemuda dan bapak-bapak, saat itu emak-emak pun tak mau kalah iku menyuarakan aspirasinya saat berdemo di depan Balai Desa Bakalan. Keinginan mereka rupanya bulat agar sang kasun tak kerja di Desa Bakalan.
“Saya demo disini agar pak Wahid dicopot sebagai kasun di Desa Bakalan” kata Muniro, Senin (28/8) kemarin.
Selain berdemo, para peserta aksi juga membawa kain putih berukuran 2 meter yang bertuliskan “Petisi Warga Babatan Lereni Kasun Wahid”. Kain itu dipajang oleh pendemo lalu ditanda tangani.
Mereka terlihat satu persatu bergantian menandatangani petisi yang dibawa didepan balai desa bakalan. Puluhan bahkan ratusan tanda tangan dibubuhkan diatas kain yang sudah disiapkan mereka.
Setelah warga tanda tangan, akhirnya para petinggi-petinggi di Desa juga ikut bubuhkan tanda tangan berisi petisi tersebut. Terlihat ada BPD, Sekretaris Desa (Sekdes), bahkan Kepala Desa (Kades) Bakalan juga membubuhkan tanda tangan tentang petisi pemberhentian Wahid.
Mereka para pendemo memberikan kesempatan kepada Wahid agar mundur secara baik-baik. Mereka terlihat tak mau melihat dia berada di Desa sebagai panutan alias perangkat disana.
Namun permintaan warga itu tak digubris oleh Wahid. Dia bersikukuh bertahan menjadi perangkat Desa meski sudah tak diharapkan warga dusun Babatan.
“Saya tak bersedia untuk mundur seperti yang diharapkan masyarakat, kalau mutasi tidak apa-apa,” kata Wahid.
Dia memang tak menampik apa yang dituduhkan masyarakat kepada dirinya, tentang uang pembelian sawah yang harganya 100 juta. Dia berdalih bahwa, selisih 30 juta itu merupakan upah dirinya yang saat itu berperan sebagai broker atau makelar.
“Dari penjual 70 juta lalu dibeli Madin 100 juta, berarti itu laba saya sebagai makelar,” ujai Wahid.
Sebagian uang 30 juta itu menurut Wahid, juga dibagi dengan guru-guru. Wahid menilai jika uang yang dimiliki Madrasah Diniyah (Madin) sudah lumayan banyak. Sehingga, dia berinisiatif menawarkan agar Madin punya aset sawah.
Wahid berfikir, jika pembelian sawah itu cukup berunding dengan guru saja tanpa ke masyarakat. Karena uang yang dipakai untuk membeli sawah itu bukan uang masyarakat, dan bukan uang pemerintah.
Usai mediasi, Munif Triatmoko selaku Camat Purwosari mengatakan, jika masyarakat ngotot minta wahid berhenti. Sedangkan Wahid bersikukuh tak mau mengundurkan diri. Sehingga keputusan mediasi Wahid dimutasi sambil nunggu proses hukum yang kini dilakukan oleh warga.
“Hasil mediasi, pak Wahid bersikukuh bertahan tidak mau mengundurkan diri, akhirnya kita mutasi sambil nunggu proses hukum.” kata Camat Purwosari.
Usai demo, sejumlah warga bergeser ke Polsek Purwosari. Mereka melaporkan Wahid dengan dugaan penggelapan dan penipuan atas jual beli tanah Madin. Mereka berharap, polisi bisa mengawal kasus ini, demi tegaknya supremasi hukum utamnya untuk warga Babatan Bakalan.
(Die)