PASURUAN – Sejumlah warga dari Desa Tambaksari, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Pasuruan, Selasa (05/9) siang, geruduk kantor BPN, di Jalan Pahlawan No.26, Kelurahan Pekuncen, Kecamatan Panggungrejo, Kota Pasuruan.
Bersama Direktur PUS@KA (Pusat Studi dan Advokasi Kebijakan) Lujeng Sudarto, warga Tambaksari mendesak BPN agar nama-nama sertifikat, yang saat ini beralih ke orang lain, untuk segera diperbaiki dan dikembalikan BPN, kepada pemilik hak atau penggarap.
Menurut Lujeng, dirinya akan mati-matian membela warga yang saat ini terdzolimi. Lujeng berpedoman, bahwa tanah itu merupakan pusaka bagi warga untuk bekerja mencari makan demi menghidupi anak serta istrinya.
“Sak dumuk batuk sak nyari bumi, dibelani nganti pecahing dodo kutahing ludiro (Sejengkal tanah dibela sampe pecahnya dada tumpahnya darah)” kata Lujeng.
Lujeng memberikan pilihan kepada BPN, dalam urusan perbaikan tanah warga yang beralih ke orang lain tanpa melalui proses yang jelas. Dia memberi pilihan melaporkan ke penegak hukum, atau proses pengadilan, atau BPN bisa melakukan revisi pada surat-surat yang dianggap tak beres.
“Kita mengapresiasi terhadap pihak BPN yang mau mengambil langkah revisi terhadap sertifikat warga yang kini menjadi nama orang lain,” ungkap Lujeng.
Lujeng mengaku tak akan tinggal diam, jika hak warga penggarap, tiba-tiba seenaknya dimainkan oleh mafia tanah. Dia tak akan segan-segan menyeret para pemainnya, meski harus berhadapan dengan tangan-tangan besi.
“saya menduga, modus operandi yang dilakukan mereka dengan cara memalsukan data pengelola” imbuh Lujeng.
Untuk sementara, ada sekitar 53 warga yang saat ini benar-benar menjadi penggarap, namun belum mendapat haknya, sebagai pemilik tanah. Dan sepertinya, program Redistribusi tanah kemarin menjadi ajang bancaan bagi para mafia untuk “ngutil” tanah dengan mengubah kepemilikan dalam pengajuan.
“Kami tak pernah ditawari program redis tapi tiba-tiba muncul nama dan patok-patok dilahan yang kami garap” kata Eko Wibowo warga Tambaksari.
Dia mengaku khawatir, jika lahan yang mereka garap berpuluh-puluh tahun itu, nantinya akan dirampas oleh para pemilik seritifikat yang kini namanya sudah muncul. Makanya, dia ngotot memperjuangkan haknya, agar anak cucunya nanti tidak diusir dari lahannya sendiri.
“Kita menggarap lahan ini turun temurun mulai suda puluhan tahun, mungkin dari zaman belanda tapi kok malah jadinya seperti ini,” kata petani kopi ini.
Sukardi, selaku Kepala Sub Tata Usaha BPN Kabupaten Pasuruan, mengaku akan membatalkan sertifikat tersebut, jika ditemukan ada sesuatu yang tidak benar. Namun dirinya harus menelaah terlebih dahulu terhadap objek tanah yang dicurigai bermasalah.
“Kita identifikasi dulu, lalu kita ambil koordinatnya dan kita masukan di peta redis, baru ada langkah selanjutnya,” papar Sukardi.
(Die)